Di tengah perubahan ekonomi dan persaingan pasar yang semakin dinamis, pelaku UMKM dihadapkan pada tantangan untuk tidak hanya tumbuh, tetapi juga menjalankan usaha secara etis. Salah satu pendekatan etika yang dapat dijadikan landasan dalam pengambilan keputusan bisnis adalah utilitarianisme—sebuah prinsip moral yang menilai baik buruknya sebuah tindakan berdasarkan sejauh mana tindakan tersebut memberikan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang.

Konsep ini lahir dari pemikiran Jeremy Bentham, tokoh filsuf asal Inggris, yang mengusulkan bahwa tindakan dianggap benar jika mampu menciptakan kebahagiaan atau kepuasan kolektif. Penerusnya, John Stuart Mill, menambahkan dimensi kualitas dalam kebahagiaan yang dimaksud, tidak hanya kuantitas. Dalam praktik bisnis, prinsip ini mendorong pengambilan keputusan yang mempertimbangkan dampak luas terhadap pelanggan, pekerja, mitra usaha, dan masyarakat.

UMKM sebagai motor penggerak ekonomi lokal, etika utilitarian dapat membantu para pelaku usaha membuat keputusan yang tidak hanya menguntungkan secara finansial, tetapi juga berdampak positif bagi lingkungan, konsumen, dan komunitas sekitar.

Misalnya, sebuah UMKM pengrajin kulit di Garut dihadapkan pada pilihan antara menggunakan bahan baku lokal ramah lingkungan yang sedikit lebih mahal atau bahan sintetis impor yang lebih murah namun tidak berkelanjutan. Dalam kerangka utilitarian, keputusan yang lebih etis adalah memilih bahan lokal, karena meski mengurangi margin keuntungan jangka pendek, keputusan tersebut memberikan manfaat jangka panjang: memberdayakan petani lokal, menjaga lingkungan, dan membangun citra positif di mata pelanggan yang kini lebih peduli terhadap praktik bisnis yang bertanggung jawab.

Pakar etika bisnis, Brad Hooker, menyoroti pendekatan yang disebut rule utilitarianism — yaitu membuat keputusan berdasarkan aturan-aturan umum yang terbukti membawa manfaat besar secara kolektif. Dalam konteks UMKM, ini bisa diterapkan melalui pedoman seperti: “utamakan transparansi produk”, “hindari praktik harga tidak wajar”, atau “berikan informasi jujur di platform digital”. Pedoman-pedoman semacam ini memberi arah jelas bagi pelaku usaha tanpa harus menganalisis setiap keputusan secara terpisah.

Namun tentu saja, tidak semua keputusan bisa diambil dengan mudah. Dalam beberapa kasus, keputusan yang membawa manfaat besar bagi konsumen bisa saja merugikan produsen atau pekerja. Maka, keseimbangan antara manfaat, keadilan, dan keberlanjutan harus menjadi pertimbangan utama. Prinsip utilitarian memang menekankan manfaat kolektif, tetapi penerapannya tetap harus adaptif terhadap konteks lokal dan nilai-nilai kemanusiaan.

 

Penerapan prinsip utilitarianisme dalam bisnis mengajarkan bahwa keputusan bisnis tidak bisa semata-mata didasarkan pada keuntungan individu, melainkan keputusan yang menguntungkan sebanyak mungkin pihak—pelaku, konsumen, masyarakat, dan lingkungan. (NZ)